Salahkah Umat Islam Marah Saat Nabi Muhammad Dihina?


 Akhlak Nabi Muhammad SAW merupakan sumber acuan utama bagi umat Islam. Meneladan akhlak beliau sudah sepatutnya dilakukan umat Islam, terlebih di tengah fenomena Islamofobia seperti penerbitan kartun Nabi masih memperdaya masyarakat global.


Untuk mengetahui lebih jauh mengenai akhlak Nabi dan bagaimana sikap beliau dalam menghadapi orang-orang yang menista dan membenci, Wartawati Republika.co.id, Imas Damayanti, mewawancarai Ketua Umum Rabithah Alawiyah Habib Zen bin Smith lewat surat elektronik, Selasa (27/10). Berikut kutipannya.


Seberapa penting umat Islam untuk mencintai Nabi Muhammad?


Bagi seorang Muslim nikmat yang terbesar adalah dijadikannya kita menjadi seorang beriman. Kita tidak akan menjadi orang yang beriman dan mengenal Islam jika Allah SWT tidak menciptakan manusia yang termulia yaitu Nabi Besar Muhammad SAW. Kemudian Allah mendidiknya dan menjadikan beliau Nabi dan Rasul akhir zaman. Karena itu mencintai Nabi adalah bagian dari keimanan.


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, seorang diantara kalian tidaklah beriman, sehingga aku lebih dia cintai dari kedua orang tua maupun anaknya." Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari.


Nabi Muhammad adalah seorang manusia pilihan, bukan manusia biasa, beliau adalah seorang manusia, tetapi bukan sembarang manusia. Di situ dimunculkan sisi kemanusiannya atau basyariah. Namun, kita harus sadar seorang manusia yang dipuji bukan lagi oleh manusia biasa tetapi oleh Allah yang menciptakannya.


Bagaimana gambaran mengenai akhlak Nabi?


Islam mengajarkan kebaikan akhlak dan kesantunan dalam berinteraksi baik dengan sesama manusia Muslim maupun non-Muslim, tetapi Islam juga mengajarkan ketegasan dalam menjaga akidah dan menjaga iman dalam sanubari kita.


Dalam Alquran sering Allah SWT memuji Rasulullah SAW, di antaranya dalam salah satu dengan firman Allah dalam surat al-Qalam ayat 4 yang artinya: "Wa innaka lalla khuluqin azhim (Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang mulia)." Maka, jika Allah sudah memuji, berarti beliau adalah orang yang harus dipuji oleh umat manusia.


Salahkah jika seorang Muslim marah ketika Nabi Muhammad dihina?


Dalam hadits disebutkan bahwa tidak sempurna iman seseorang jika tidak mencintai Nabi lebih dari ayah bundanya. Lalu, bagaimana kita tidak merasa sakit, jika pribadi yang mulia ini dijadikan olok-olokan oleh pihak lain, hanya dengan dasar menghormati kreativitas yang absurd?


Maka adalah wajib hukumnya bagi seorang Muslim untuk menjaga kehormatan keluarga jika dihina, apalagi ini seorang Nabi akhir zaman kecintaan Allah, yang iman kita juga diukur atas dasar kecintaan kita kepada beliau.


Namun, reaksi yang baik adalah memberikan protes yang keras kepada pihak yang menghina maupun pemerintah yang mendukungnya, dengan memberi pengertian bahwa cara mereka bukan melindungi kreativitas, tetapi justru penghinaan yang tidak beradab. Mereka yang mengaku bangsa yang maju dan beradab ternyata kenyataan yang terjadi, adalah jauh dari kesantunan hubungan antar bangsa dan agama.


Bagaimana sikap Nabi ketika dinistakan dan dibenci musuh Islam?


Nabi Muhammad SAW sangat santun dan sering mendapat hinaan kepada pribadi beliau yang luar biasa, tetapi beliau bersabar bahkan mendoakan, sebagaimana awal dakwah beliau di Thaif.


Nabi menjawab permintaan malaikat untuk menghancurkan kota tersebut dengan jawaban: "Ya Allah berikanlah petunjuk kepada kaumku, sesung guh nya mereka tidak mengetahui." Lihat, alangkah sabar dan indahnya doa ini yang pada saat itu masyarakatnya belum mengenal Islam.


Namun, setelah Islam tersebar dan manusia diberi pemahaman tentang Islam, bila ada penghinaan terhadap agama, wajib kita memberi penerangan secara baik. Jika sampai tahap ini masih juga mereka mengganggu maka kita harus melawannya.


Mari kita pelajari sebuah hadits yang menyatakan bahwa barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia meng ubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika ia masih tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel